Wednesday, May 17, 2006

Self-therapy

In a mellow mood..

Hidup itu perjuangan. Hidup itu memang penuh perjuangan. Setiap fase hidup perlu perjuangan.
Klise banget ya? Tapi memang betul. Mau lari kemanapun tetep aja yang namanya hidup harus berjuang. Berjuang buat mendapatkan sesuatu. Berjuang buat tidak mendapatkan sesuatu.


Aku sadar sepenuhnya bahwa tak ada orang yang melalui hidup tanpa rintangan. Semua orang punya masalah dan cobaannya masing-masing. Besar dan banyaknya rintangan yang mungkin berbeda. Jenisnya pun berbeda-beda. Tapi tetep nggak ada orang yang hidupnya seperti garis lurus. Kadar masalah juga bisa berbeda-beda. Ada yang punya masalah tentang satu hal yang menurut orang lain nggak layak dijadikan masalah. Ada juga orang yang hidupnya kayanya nggak pernah lepas dari masalah tapi tetap terlihat tenang tanpa beban.

Aku sendiri? Aku tahu banyak sekali orang yang mengira aku telah melalui jalur emas dalam hidupku. Seperti orang yang mendapat golden ticket kemanapun. Memang aku mendapatkan banyak yang kuinginkan. Tapi tentu saja aku tak melaluinya dengan mudah. I did fight. I know how to fight. I always fight. Aku bukan melalui jalur emas. Sama sekali tidak. Malah jalanku penuh duri. Banyak masalah yang mungkin orang bakal bilang 'sinetron banget', tapi kenyataannya terjadi padaku. Hanya saja, aku terbiasa berjuang sendiri. Berpikir sendiri. I am introvert. I love to help other solving their problems, but I never let people know what problem I have.

Aku berjuang sedari kecil dulu. Sama sekali nggak mudah tumbuh besar jauh dari orangtua. Aku tak tahu kemana harus bercerita jika ada masalah. Aku bahkan tak tahu harus bicara pada siapa ketika mendapat menstruasiku yang pertama. Aku berusaha agar eksistensiku tetap nyata dengan berjuang di bidang akademik. AKu jadi terbiasa dengan kompetisi. Terbiasa memperoleh prestasi akademik yang baik, sehingga satu saja nilai buruk bisa membuat aku stress. Aku belajar mati-matian agar bisa masuk sekolah favoritku. Aku belajar mati-matian supaya nilai-nilai di raportku selalu bagus. Orangtuaku tidak pernah menuntut, tapi aku selalu merasa itu harus.

Masa ketika aku harus mengurus tiga orang remaja pun penuh dengan perjuangan. Sifat perfeksionisku membuat aku merasa harus menyelesaikan masalah sendiri tanpa memberatkan orangtua, walaupun masalahnya bukan masalahku. Dengan masalah pribadiku yang cukup banyak ditambah masalah-masalah lain, sering aku merasa tua sebelum waktunya.

Bahkan ketika akhirnya aku bisa mencintai seseorang, jalan bagiku tidaklah mudah. Bertahun-tahun kulalui dengan airmata dan semangat yang naik turun.
Dan saat aku akhirnya mendapatkan orang yang aku sayangi sebagai pendamping hidup, aku tidak merasakan suatu kemenangan. Saat semua menyalamiku selamat menempuh hidup baru, aku tahu apa yang akan kuhadapi di depan. Hidup baru, tantangan baru, perjuangan baru. Ini hanyalah pintu menuju jenis perjuangan yang lain.
Bahkan aku ingat, suamiku pernah berkata..entah karena alasan apa..tapi dia bilang, mungkin jalan ke depan tidak akan terlalu mulus buat kita. Mungkin suamiku sudah lupa dia pernah bilang seperti itu, tapi aku selalu ingat. Simply, karena saat itu aku memiliki insting yang sama.

Ketika aku hamil, aku tahu kehamilanku tidak akan mudah. Bukan skeptis. Hanya intuisiku yang berjalan. Bukan juga berburuk sangka pada Allah. Aku terus berdoa pada Allah meminta segala sesuatu berjalan lancar. Aku tahu Allah sayang padaku.
Kehamilanku memang tidak mudah. Dengan tiga kali pendarahan dan akhirnya operasi caesar, ditambah bayi yang divonis kuning..aku sudah dipaksa mengeluarkan air mata bahkan hanya beberapa hari setelah melahirkan, karena tak tega melihat bayiku di dalam box penyinaran. Padahal, aku susah menangis. Oke, aku menangis kalau melihat film sedih. Tapi kalau aku benar-benar sedih, justru aku sulit menangis. Ketika kedua kakekku yang sangat dekat denganku meninggal dunia, aku justru sulit menangis. Aku tak bisa menangis karena terlampau banyak orang menangis di sekitarku.

Tapi kemudian aku menangis lagi, karena tak tega meninggalkan anakku di rumah padahal aku harus bekerja di kantor. Kemudian aku berhenti bekerja. Sebenarnya bukan semata demi anakku dan demi suamiku, tapi juga demi diriku sendiri. Aku mulai mempertanyakan makna hidup yang entah sampai kapan. Dan aku sama sekali nggak mau waktuku habis oleh hal yang sama dari jam enam pagi sampai jam sepuluh malam setiap harinya. Masih terlalu banyak hal yang ingin kulakukan. Untukku sendiri..dan untuk anakku.
Bahkan ketika aku berhenti bekerja dan tinggal di rumah 'saja', keadaan tidak menjadi lebih mudah. Aku kembali harus berhadapan dengan hal-hal tak biasa, dari kecemburuan, gosip, pengkhianatan, fitnah sampai hal magis. Aku tak peduli selama aku merasa aku bisa melaksanakan tugasku dengan 'benar'.

Aku merasa bahwa tugas utamaku adalah mendidik anakku menjadi orang yang lebih baik dari aku dan suamiku. Tugasku adalah menyampaikan pelajaran dari apa yang telah aku lalui dalam hidupku.
Dan lagi-lagi, intuisiku mengatakan ini tak akan menjadi hal yang mudah. Dengan banyak sepupu yang jauh lebih kecil dariku, aku terbiasa mengajar anak kecil dengan mudah. Aku selalu memimpikan hari dimana aku memiliki anakku sendiri dan aku akan mengajarkan banyak hal padanya.

Aku tentu saja tak pernah berpikir bahwa aku akan memiliki anak yang terlambat dalam komunikasi. Dan tentu saja, ini membuatku kembali harus berjuang. Bukan hanya berjuang dalam masalah tenaga yang harus bolak-balik terapi, konsultasi dan sekolah, tapi juga masalah kesabaran. Selain harus sabar dengan serangkaian tugas dari psikiatris dan terapis untuk kukerjakan di rumah, aku juga harus siap bersabar menghadapi pertanyaan orang yang cenderung menghakimi.
Bukannya aku berburuk sangka dengan mengatakan demikian, tapi pengalaman membuktikan. Dengan predikat 'keemasan' yang pernah aku miliki;prestasi akademis dan karir yang mulus;sekecil apapun hal yang tak biasa dalam arti negatif tentang aku bisa menjadi alasan beberapa pihak untuk mengatakan hal yang buruk tentangku.
Aku pernah jenuh dengan ejekan beberapa orang yang terus mengataiku karena tak bisa mengerjakan urusan rumah tangga (sebelum menikah). Buat apa pintar kalau nggak bisa masak dan beres-beres? Padahal aku bukan nggak bisa, tapi belum tertarik. Begitu akhirnya aku bisa (juga sebelum menikah), tetap ada hal lain yang menjadi bahan pergunjingan. Ketika aku kelupaan membawa celana suamiku, karena daya ingatku memang bermasalah, aku pun menjadi role-model seorang istri yang buruk. Aku malas berhadapan dengan orang-orang yang selalu mencari hal yang buruk dari orang lain. Dan aku takut aku tak sabar menghadapi orang-orang seperti itu.

Lagipula tak dapat dipungkiri, kata terapi membuat banyak orang memikirkan hal yang buruk.
Aku malas harus menjelaskan bahwa sebenarnya aku bisa memilih antara melakukan terapi dan konsultasi dengan membiarkan saja anakku seperti itu. Toh banyak sebenarnya di keluargaku yang mengalami masalah terlambat bicara dan mereka akhirnya bicara setelah umur empat tahun.Bukannya aku tak sabar, tapi siapa yang bisa menjamin anakku tak akan mengalami masalah lebih buruk karena aku tak mengantisipasinya?
Aku juga merasa aku sudah cukup berusaha. Sejak kedatangan pertama ke dokter anak sampai hari ini, kemampuan komunikasi anakku sudah meningkat. Tapi tetap masih terlambat. Dan untuk mengejar titik yang seharusnya, aku butuh bantuan.

Kasus anakku cukup berbeda. Dia begitu advance di satu sisi. Daya ingatnya diatas rata-rata. Dia bisa menulis huruf dan angka serta bisa menggambar objek sesuai aslinya. Dia bisa hafal lagu padahal baru dua kali mendengar. Kosa katanya juga banyak. Dia cepat hafal isi buku 1000 first words yang aku ajarin.
Tapi dia sangat lambat dalam masalah komunikasi karena dia punya masalah dengan 'attention'.
Lucunya, dia bisa 'give attention' kalau aku ngajarin dia nyanyi, musik dan menggambar! Jadi seperti dia memilih. Dan dia memilih untuk tidak perlu berkomunikasi.
Tentu saja dia berkomunikasi dengan caranya sendiri. Dia bisa bilang satu-dua kata, atau menarik tangan orang lain ketika dia meminta sesuatu. Tapi tetap saja, dia terlambat dibanding anak lain di umurnya.
Pertama aku pikir speech therapy sudah cukup, tetapi untuk mendapatkan hasil optimal tetap butuh bantuan occupational therapy untuk masalah 'attention'-nya. Tanpa bisa dicegah, aku sudah kelelahan duluan membayangkan menjadwal tiga tempat (ST, OT dan psikiatris), melakukan tugas rumah dan mengantar jemput anakku sekolah. Still, it has to be done. Demi anak. Bagian dari perjuangan.

Oya, ada satu yang kuperhatikan. Dari anak-anak di kelas Ikel, dua perempuan dan lima laki-laki, semua yang laki-laki ternyata terlambat komunikasi walaupun tarafnya berbeda-beda.
Yang perempuan ngomongnya lancar banget dan bisa ngobrol.
Laki-lakinya, satu terlambat karena down syndrome, tapi dia mulai bisa ngomong. Satu udah bisa komunikasi tapi pronounciationnya nggak jelas. Satu lebih parah dari Ikel, cuma bisa dua kata. Satu lagi sebenernya udah bisa ngomong tapi jarang ngomong saking pendiamnya. Satu lagi Ikel.
Mudah-mudahan mereka semua bisa take and give.

Masih banyak masalah berat yang harus kuhadapi dan yang tak mungkin kuceritakan. Bagian dari perjuangan yang harus aku lalui. Tapi aku bersyukur karena aku sekarang memiliki seorang partner hidup, yang siap mendengarkan dan mendukungku. Setidaknya aku tidak sendiri.
Dan aku semakin kagum dengan cara Allah menentukan jalan manusia. Kalau aku bukan ibu yang bekerja di rumah, mungkin aku akan kebingungan mencari waktu untuk melakukan serangkaian tugas itu. Padahal aku pun pernah melewati masa-masa kangen dengan pekerjaan kantoran, dari mulai dinamiknya sampai gajinya.
Dan aku tahu, bahwa walaupun terasa berat di kepalaku, sesuai janji-Nya Allah tak akan memberiku masalah yang tak bisa aku lewati. Masih banyak orang yang jauh lebih tidak beruntung daripada aku dan masih tetap berjuang. Pada mereka aku harus bercermin.
Berjuang..berjuang..berjuang..
Berdoa..berdoa..berdoa..

---curhat, nulis..untuk terapi diri gw sendiri---






<< Home |

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]