Monday, March 01, 2004

Susahnya Berprasangka Baik

Alangkah bahagianya orang yang tidak pernah memiliki prasangka buruk kepada orang lain. Mereka yang selalu berpikir positif dan dapat mengambil hikmah dari berbagai macam peristiwa. Hidupnya tentu terasa damai, tanpa perasaan benci, tanpa perasaan iri dengki, tanpa rasa takut dan terutama tanpa rasa curiga yang berlebihan. Tidak berprasangka buruk tak dapat disamakan dengan tidak hati-hati. Mereka yang menjaga prasangka tetaplah waspada akan bahaya dan hal yang benar-benar buruk. Ketika melihat orang yang dirasakannya berbuat baik padanya, dia bersyukur dan bahagia. Ketika melihat orang yang dirasakannya berbuat tidak baik, dia tidak kehilangan rasa syukur dan bahagianya. Karena kembali pada satu kata, perasaan. Mungkin baik dan tidak baik itu hanyalah suatu rasa yang timbul dari hatinya sendiri, dan bisa dipengaruhi faktor-faktor luar. Suatu perbuatan baik yang tiba pada saat yang tidak tepat dapat terasa sebagai hal yang menyebalkan. Perbuatan orang lain yang terasa tidak tepat di hati, mungkin bila dipikirkan ada maksud baiknya. Bagi mereka, barangkali cukup ditambah doa semoga perbuatan orang lain yang dirasakan buruk bagi mereka sebenarnya adalah hal yang baik. Bukankah bagi manusia hal yang buruk bisa terasa baik dan hal yang baik bisa terasa buruk.

Berpikir baik pada orang lain mendatangkan suatu ketenangan di hati. Orang yang benar-benar berniat buruk pada mereka mungkin akan merasa bagaikan menubruk tembok baja dan kemudian luluh. Perdamaian, persahabatan..sebutlah macam kebahagiaan, dia akan datang dari prasangka baik. Berprasangka baik meringankan beban kehidupan yang sudah berat. Bayangkan hidup seseorang yang penuh dengan prasangka buruk kepada orang lain, patutlah dikasihani karena menanggung beban yang sangat berat.
Apakah ada mereka yang seperti itu? Mungkin ada. Mungkin banyak. Mungkin banyak yang sedang menuju ke arahnya. Tetapi di dunia dimana orang sudah mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain, menjadi yang demikian bukanlah suatu perjuangan yang ringan. Begitu mudahnya muncul perasaan curiga, begitu mudahnya muncul keputusan yang menghakimi tanpa pemikiran mendalam, semua hanya berdasarkan apa yang dilihat dan dirasakan. Bukankah Tuhan memerintahkan agar manusia memanfaatkan pendengaran, penglihatan dan hati dan lebih intens lagi memerintahkan manusia agar menggunakan akalnya? Pandangan mata saja mungkin menipu, apa yang didengar bila bukan dari sumbernya sendiri mungkin juga menipu, dan perasaan begitu mudah terombang-ambing. Apakah mungkin karena telah begitu seringnya kita menodai hati kita sendiri, maka setiap melihat orang lain yang terlihat pertama adalah nodanya?






<< Home |

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]