Monday, August 21, 2006

LIT dan Sedikit Renungan Kemerdekaan

Di buku saya yang pertama, Lost in Teleporter, ada sedikit detil yang saya masukkan tentang seorang pembantu rumah tangga yang masih lebih lancar berbahasa Sunda dibanding berbahasa Indonesia. Walaupun mengambil latar di tahun 2101, detil ini sama sekali bukan kesalahan editor ataupun ketidaksengajaan penulis. Hal ini lahir dari pemikiran dan pengalaman saya pribadi.
Dimulai dari ketakutan saya di masa remaja ketika tiba waktunya mengunjungi makam keluarga di sebuah perkampungan di Jawa Barat. Untuk mencapai makam itu saya harus melewati beberapa perkampungan di belakang kampung nenek saya (jangan salah, walaupun perkampungan tapi letaknya tepat di sisi jalan raya,lho!). Setiap lewat saya deg-degan, takut ada orang yang menyapa ramah. Kenapa? Karena mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, dan waktu itu saya tidak bisa berbahasa Sunda!

Tahun demi tahun berlalu, saya tetap melewati tempat yang sama dengan kepercayaan diri yang berbeda karena telah bisa berbahasa Sunda dengan lancar. Tapi ada satu yang tak berubah, penduduk kampung-kampung itu tetap tak bisa berbahasa Indonesia.
Kenapa? Jawabannya sederhana saja, karena mereka merasa tak perlu untuk bisa. Kenapa harus bisa sedangkan lingkungan mereka tidak mengharuskan untuk bisa? Semua orang bicara bahasa Sunda, jadi kenapa harus belajar bahasa lain?
Dan saya amati ternyata bukan hanya penduduk di kampung itu yang begitu, tetapi di cukup banyak tempat yang jauh dari perkotaan. Yang tidak menempuh pendidikan, hampir tidak bisa sama sekali berbahasa Indonesia. Yang menempuh jalur pendidikan, kebanyakan hanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sekolah. Sehingga bahasa Indonesia untuk percakapan yang mereka kuasai adalah bahasa baku dengan aksen dan campuran bahasa lokal.

Fenomena ini terus berlanjut sampai saya dewasa dan bekerja. Dalam beberapa kesempatan ke luar negeri, saya bertemu tenaga kerja Indonesia yang kesulitan bicara bahasa Indonesia! Percaya atau tidak, tapi itulah kenyataannya. Di negeri jiran ini lebih parah lagi, seringkali saya bertemu tenaga kerja Indonesia yang hanya bisa bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia bagi mereka ya bahasa Melayu itu. Ini karena mereka sebelumnya tidak pernah bicara dengan bahasa lain selain bahasa Jawa, dan terpaksa harus bisa bahasa Melayu untuk bertahan di negeri tetangga.

Sudah hampir 78 tahun sejak Sumpah Pemuda dan 61 tahun sejak Indonesia merdeka. Masih banyak rakyat yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Padahal saya tadi menyebut contoh dari pulau Jawa, pulau yang bisa dikatakan termaju di Indonesia. Karena itu saya memprediksi keadaan di abad mendatang pun tak akan jauh berbeda dalam segi penggunaan bahasa. Mungkin semakin banyak rakyat yang menguasai bahasa asing, tetapi masih tetap banyak mereka yang lebih nyaman berbicara dalam bahasa daerahnya masing-masing. Bahkan saat ini di kota-kota besar, para pembantu rumah tangga tetap banyak yang tidak lancar berbahasa Indonesia karena bekerja di rumah yang juga membiasakan penggunaan bahasa lokal. Jika pembangunan dan pendidikan bisa tersebar lebih merata, mungkin ceritanya lain lagi. Tapi saya yakin, penggunaan bahasa lokal dibanding bahasa Indonesia secara lebih dominan di luar metropolitan, akan terus terjadi.

Saya sempat merasa sangat miris ketika mengetahui para TKI yang tak bisa bahasa Indonesia. Bahkan saya sempat menyalahkan pemerintah yang melakukan pembangunan kurang mencapai desa. Saya menyalahkan pemerintah untuk banyak hal yang menyebabkan Indonesia tertinggal. Tetapi beberapa kalimat dari seorang supir taksi di negeri jiran ini menyadarkan saya, "Warga negara selalu merasa tidak puas pada negaranya. Rakyat Indonesia tidak puas pada pemerintahnya. Disini pun sama. Wajarlah jika pemerintah Indonesia kesulitan. Indonesia terlalu luas! Terlalu banyak penduduknya! Terlalu sulit diatur."
Lalu saya mulai melihat banyak segi positif dari Indonesia yang tidak bisa saya temukan di tempat lain. Persatuan bangsanya yang multi-etnis. Keramah-tamahan penduduknya. Di negeri tempat saya tinggal sekarang, orang seringkali memandang dengan aneh jika melihat saya berjalan-jalan dan mengobrol asyik dengan mereka yang berbeda ras. Saya pun tetap merindukan makanan dan cuaca kota Bandung walaupun berada di luar negeri.
Walaupun masih banyak hal yang membuat saya tidak puas, dari KKN yang merajalela sampai ongkos fiskal ke luar negeri yang menurut saya tidak masuk akal, tetapi ternyata banyak hal dari Indonesia yang membuat saya bangga. Terutama banyak penduduknya yang berpikiran terbuka dan kreatif. Maraknya dunia perbukuan Indonesia sekarang ini adalah salah satu bukti. Tak bisa diabaikan, lajunya perkembangan dunia seni musik dan film.
Lalu bagaimana dengan rakyat yang masih tidak lancar berbahasa Indonesia? Rasanya bukan masalah karena baca tulis rata-rata mereka bisa. Berkomunikasi pun tak masalah walau tak lancar. Bukankah bahasa Inggris pun ada berbagai aksen yang disesuaikan dengan budaya lokal, seperti Singlish, Manglish? Kenapa tidak boleh ada Sundindo, Jawindo? :-) Tetapi mereka yang tidak BISA berbahasa Indonesia? Itu pekerjaan rumah. Entah untuk siapa.






<< Home |

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]